Monday, November 5, 2012

MATERI LEGAL DRAFTING


BAB I
PENDAHULUAN



A.    Deskripsi Singkat
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai teknik dan metode penyusunan peraturan perundang-undangan, perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep dasar dari Peraturan Perundang-undangan.
Untuk mengenali berbagai jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan, memahami tata urutan atau tata susunannya, dan memahami proses pembentukannya tidak terlalu sulit, tetapi mengetahui dengan baik materi mana yang harus dimuat dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan terasa tidak mudah.
Ilmu Hukum Tata Negara sudah lama menyoroti pengertian Undang-Undang, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, menyoroti kedudukannya, kekuatan berlakunya dan lain-lainnya serta apa saja yang termasuk pengertian Undang-Undang dalam arti material. Juga ilmu hukum tata usaha negara telah jauh mempersoalkan kaidah-kaidah bagai teknik dan proses pembuatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Namun demikian keduanya belum menyinggung secara mendalam dan membiarkannya tanpa kejernihan mengenai masalah materi muatan yang semestinya dimuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.
Bahan ajar Konsepsi Dasar Peraturan Perundang-undangan ini menjelaskan tentang konsep dasar terbentuknya Peraturan Perundang-undangan, mulai dari terbentuknya Negara hukum yang berlandaskan teori kedaulatan hukum sampai pada konsepsi peraturan perundang-undangan   dalam konstitusi Negara. Selanjutnya dibahas pula dasar-dasar peraturan perundang-undangan yang meliputi pengertian dan asas-asas peraturan perundang-undangan, juga materi muatan Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lain.
B.  Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, peserta diharapkan mampu memahami konsep-konsep dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
C. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan:
1.      Teori Kedaulatan Hukum
2.      Syarat Negara Hukum
3.      Dasar terbentuknya peraturan perundang-undangan
4.      Pengertian Peraturan Perundang-undangan
5.      Beberapa Asas Peraturan Perundang-undangan
6.      Hak Uji Undang-Undang dan Lembaga yang Memiliki Kewenangan Menguji Undang-Undang
7.      Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
D.  Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Bab I       Pendahuluan
a.      Deskripsi Singkat
b.      Tujuan Instruksional Umum (TIU)
c.       Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
d.     Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Bab II      Konsepsi Dasar Peraturan Perundang-undangan
a.      Konsep Negara Hukum sebagai Dasar Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan
b.      Konsepsi Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi Negara
c.       Pengertian Peraturan Perundang-undangan
d.     Eksistensi Peraturan Perundang-undangan
e.      Beberapa Asas Peraturan Perundang-undangan
f.        Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
g.      Landasan/Dasar Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan
h.      Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
i.        Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-undangan
BAB II
KONSEPSI DASAR
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A.    Konsep Negara Hukum sebagai Dasar Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan
Teori kedaulatan hukum yang mengilhami terbentuknya negara hukum tidak terlepas dari pengertian kedaulatan (sovereignity) itu sendiri, sebagai ciri atau atribut hukum suatu negara[26]. Istilah sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai padanan kata dengan souvereiniteit (bahasa Belanda), souverainette (bahasa perancis) dan souranus(bahasa Italia). Pengertian dari empat bahasa tersebut berasal dari bahasa latin, yaitu superanus yang berarti “yang tertinggi”. Menurut CST Kansil, dalam arti kenegaraan, kedaulatan sovereignity adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintahan negara lain[27]. JHA Logemann merumuskan kedaulatan sebagai suatu kekuasaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang dipunyai oleh suatu negara nasional yang berdaulat[28] Sedangkan dalam teori kedaulatan, dikenal adanya teori dari Tuhan, teori kedaulatan negaram teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum.
Teori kedaulatan hukum sebagaimana diajarkan oleh Hugo de Groot, Immanuel kant dan Leon Duguit, mengajarkan bahwa Pemerintah memperoleh kekuasaannya bukanlah dari Tuhan, raja, negara maupun rakyat, melainkan berasal dari hukum yang berlaku. Dengan demikian yang berdaulat di dalam negara adalah hukum. Oleh karenanya, baik pemerintah maupun rakyat memperoleh kekuasaannya dari hukum, serta harus tunduk kepadanya[29].
Berdasarkan teori-teori tersebut, timbul pertanyaan apakah setiap negara yang menyebut dirinya berdasar atas hukum dapat dipastikan sebagai negara hukum? Jawabannya dapat merujuk kepada 4 (empat) syarat yang harus terpenuhi jika suatu negara disebut sebagai negara hukum, yakni[30]:
1.      Ada suatu pola untuk menghormati dan melindungi hak-hak kemanusiaan.  Sebagaimana telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945[31].
2.      Ada mekanisme kelembagaan yang demokratis.
Di Indonesia, mekanisme kelembagaan negara secara konstitusional dijamin sifat demokratisnya dengan memberikan wadah Undang-Undang dalam penetapannya. Sedangkan sifat, bentuk dan kewenangan pokok kelembagaan negara tersebut telah ditetapkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.      Ada suatu kekuasaan kehakiman yang bebas.
Kebebasan kekuasaan kehakiman dijamin secara konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945[32].
4.      Ada suatu sistem hukum yang tertib.
Ketertiban hukum tercermin dalam hirarki peraturan perundang-undangan[33], sebagaimana pertama kali diatur dalam Tap No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yang dicabut dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
B.     Konsepsi Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi Negara
Sebelum melangkah lebih jauh, selayang pandang perlu disoroti beberapa bagian penting sendi-sendi sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan erat dengan sistem perundang-undangan. Yang pertama ialah wawasan negara hukum rechtssaatsgedachte dan yang kedua ialah sistem kostitusional (konstitusionalisme). Wawasan yang pertama mengandung beberapa ko

nsekuensi di bidang perundang-undangan, oleh karena intinya menyangkut masalah pembagian kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, wawasan yang kedua oleh karena intinya mengarahkan tindakan negara sesuai peraturan-peraturan. Kedua wawasan itu menempatkan kekuasan perundang-undangan dalam kedudukan yang khusus. Wawasan negara hukum yang lama mempunyai kecenderungan untuk mengikat secara ketat setiap tindakan Pemerintah dengan berbagai Undang-Undang, sehingga Undang-Undang selain jumlahnya banyak, isinya pun lengkap pula. Dalam wawasan negara hukum yang lama Undang-Undang memang merupakan satu-satunya titian tempat melangkahnya pemerintahan negara. Sedangkan dalam wawasan negara hukum yang baru keketatan itu sudah dilonggarkan dengan pengakuan terhdap adanya kebijaksanaan (freies Ermessen) bagi tindakan pemerintahan negara meskipun dengan disertai imbangan dalam bentuk peradilan administrasi. Beberapa pengaturan tidak lagi harus ditetapkan dengan Undang-Undang seluruhnya, melainkan dapat didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah. Semua ini berarti bahwa dari segi materi muatan Undang-Undang terjadi perpindahan titik berat “dari atas ke bawah”, terjadi pelimpahan beberapa materi Undang-Undang kepada jenis peraturan yang lebih rendah. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa dengan berubahnya wawasan negara hukum yang lama kepada yang baru telah digantilah keterkaitan dan pengawasan ketat terhadap pemerintahan negara yang dilakukan dengan Undang-Undang dengan kebijakan dan pengarahan dan dapat dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang.
Sistem konstitusional atau konstitusionalisme biasanya merupakan konsekuensi logis sebagai akibat dianutnya wawasan negara hukum. Konstitusionalisme adalah wawasan keterbatasan tindakan Pemerintah dalam melakukan tugas-tugasnya. Konstitusionalisme yang dianut oleh Republik Indonesia, berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, telah mencerminkan wawasan negara hukum yang baru. Ketentuan bahwa pemerintahan negara harus didasarkan atas sistem kostitusi dan tidak boleh sewenang-wenang telah disertai dengan keluasan bergerak yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri, yakni dengan sifatnya yang singkat dan luwes serta isinya yang memuat aturan-aturan pokok garis besar sebagai instruksi kepada para penyelenggara kekuasaan negara. UUD 1945 melimpahkan kepada Undang-Undang untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi penyelenggraan lebih lanjut untuk Undang-Undang Dasar. Selain itu UUD 1945 memberikan kewenangan juga kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang, sebagai pengaturan ketentuan Undang-Undang tersebut yang memerlukan perincian lebih lanjut. Selain itu, Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara juga memegang kekuasaan pemerintahan yang dilihat dari segi perundang-undangan menempati kedudukan tersendiri pula.
Kecuali sistem perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat satu sistem pengaturan penting yang dimungkinkan oleh UUD 1945, yakni pengaturan yang berada dalam lingkungan hukum dasar tertulis selain Undang-Undang Dasar. Pengaturan dimaksud dapat dirinci lebih lanjut dengan Undang-Undang yang selajutnya dapat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
C.    Pengertian Perundang-undangan
Secara teoritis istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung), mempunyai beberapa pengertian berikut:
1.      Sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah[34];
2.      Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah[35];
3.      Peraturan yang berkaitan dengan Undang-Undang, baik peraturan itu berupa Undang-Undang sendiri, Undang-Undang Dasar yang memberi delegasi konstitusional maupun peraturan di bawah Undang-Undang sebagai atribusi atau delegasi dari Undang-Undang tersebut[36]. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, yang tergolong peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, adalah[37] :
a.      Undang-Undang, dan
b.      Peraturan perundangan yang lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti :
1)      Peraturan Pemerintah;
2)      Keputusan Presiden yang berisi peraturan;
3)      Keputusan Menteri yang berisi peraturan;
4)      Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berisi peraturan;
5)      Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-Undang yang berisi peraturan;
6)      Peraturan Daerah Provinsi;
7)      Keputusan Gubernur Kepala Daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi;
8)      Peraturan Daerah Kabupaten dan Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah, yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.
4.      Semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah[38].
Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbinden voorshrift) disebut juga dengan istilah Undang-Undang dalam arti materiil (wet in materiele zin)[39], yaitu semua hukum tertulis dari Pemerintah yang mengikat umum (ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen strekking)[40].
Sebagai sebuah bentuk peraturan hukum yang bersifat in abstracto atau general norm, maka perundang-undangan mempunyai ciri mengikat atau berlaku secara umum dan bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum (general)[41].
Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan wetgeving berarti:
1.      perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan;
2.      keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah.
Jadi “peraturan perundang-undangan” ialah peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf b UU No. 1 Tahun 1950 (Republik Indonesia Yogyakarta) yang menyebutkan bahwa peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah: Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri. Sedangkan Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No. 2262/HK/59 tanggal 26 Nopember 1959, menyebutkan jenis-jenis peraturan-peraturan negara ialah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah/Perpu, Penetapan Presiden dan Peraturan/Keputusan Menteri.
Pada zaman Hindia Belanda yang tergolong Wettenlij ke Regelingen ialah Internationale Tractaten, Politieke Contracten, Algemene Verordeningen, Locale Verordeningen, Water Schapsverordeningen, dan Verordeningen van Booden van Gew Estelijkbestuur. Pasal 95 ayat (1) Indische Staatsregeling merinci Algemene Verordeningen dengan Regering Sverordeningen, Ordonnantie, Algemene Maatregelen Bestuur, dan Wetten.
D.    Eksistensi Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan hanya merupakan sebagian dari hukum. Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum dikelompokkan kedalam hukum yang tertulis selalu berbentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan hukum yang tidak tertulis dapat berupa hukum kebiasaan (hukum adat), norma-norma agama, atau putusan hakim (yurisprudensi).
Disamping harus menghormati dan menaati peraturan perundang-undangan, juga harus dihormati dan ditaati ketentuan-ketentuan hukum adat (kebiasaan) yang masih nyata-nyata berlaku dan ditaati (dihormati) oleh masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat kita, masih diakui dan dihormati adanya ketentuan adat. Di Bali masih dikenal adanya lembaga subak, di jawa (terutama di pedesaan) masih dikenal adanya sistem bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap, adanya hak ulayat, dan sebagainya.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang. Suatu keputusan disebut peraturan perundang-undangan apabila dibuat oleh pejabat yang berwenang membuatnya dan isinya mengikat secara umum, tidak mengikat orang tertentu (untuk hal-hal tertentu). Jadi, tidak semua keputusan (secara teknis) disebut peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dapat diberikan pengertian bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertilis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang  dan berisi aturan tingkah laku yang mengikat umum. Karena sifatnya umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak. Oleh karena itu, cirri peraturan perundang-undangan adalah abstrak.
Ciri abstrak umum atau umum-abstrak ini dimaksudkan untuk membedakan dengan keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang, yang biasanya bersifat individual-konkret, yang lebih dikenal dengan “keputusan/penetapan” (beschikking). Yang dimaksud dengan abstrak umum atau umum-abstrak adalah isinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa, atau gejala konkret tertentu.
Pengertian mengikat umum dalam peraturan perundang-undangan tidak harus mengikat semua orang, tetapi disini hanya untuk menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu. Karena itu, sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara umum ketimbang mengikat umum.
E.     Beberapa Asas Perundang-undangan
1.      Asas Tingkatan Hirarki
Suatu perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah dirinci hal-hal berikut :
a.            Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya dapat;
b.            Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya;
c.             Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
d.           Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah diganti atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih rendah;
e.            Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi yang sebaliknya dapat. Namun demikian, tidak tepat apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi demikian, pembagian wewenang mengatur dalam suatu negara menjadi kabur. Di samping itu, badan pembentuk perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah.
Asas-asas tersebut di atas penting untuk ditaati. Tidak ditaatinya asas dimaksud akan menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian dari sistem perundang-undangan, bahkan dapat menimbulkan kekacauan atau kesimpangsiuran perundang-undangan.
2.      Undang-Undang tidak dapat Diganggu Gugat
Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toetsingsrecht). Sebagaimana diketahui hak menguji perundang-undangan ada 2 (dua) macam yakni :
a.      Hak menguji secara materiel (materiele toetsingsrech) yaitu, menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya;
b.      Hak menguji secara formal (formele toetsingsrecht) yaitu menguji apakah semua formalitas atau tata cara pembentukan sudah dipenuhi.
Dalam hal ini, materi atau isi Undang-Undang tidak dapat diuji oleh siapapun, kecuali oleh badan pembentuk sendiri atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Jadi yang dapat menguji dan mengadakan perubahan hanyalah badan pembentuk Undang-Undang itu sendiri (Pemerintah dengan persetujuan DPR) atau badan yang berwenang yang lebih tinggi. Sebagai contoh mengenai badan yang berwenang yang lebih tinggi, dalam sejarah perundang-undangan Indonesia ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang pernah mengeluarkan TAP No. XIX/MPRS tahun 1966, yang menugaskan kepada Pemerintah dan DPRD-GR untuk meninjau kembali semua produk legislatif yang dikeluarkan sejak 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966, terkecuali produk-produk MPRS.
Mahkamah Agung Republik Indonesia mempunyai hak menguji perundang-undangan secara materiel yang terbatas yakni terhadap perundang-undangan di bawah derajat Undang-Undang (yang lebih rendah dari Undang-Undang). Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman (LN 1970,74) jo Pasal 11 ayat (4)TAP MPR No. VI/MPR Tahun 1973.
Hak menguji tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung secara kasuistis, yaitu mulai perkara yang diajukan, baik karena adanya permohonan kasasi maupun permohonan peninjauan kembali perkara yang telah memperoleh putusan yang berkekuatan tetap (herziening). Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan perundang-undangan (yang lebih rendah derajatnya dari Undang-Undang) tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. Sedangkan pencabutan ketentuan perundang-undangan dimaksud dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (yang membuatnya).
Tentang hak menguji perundang-undangan secara materiel tampaknya tidak sama di berbagai Negara. Di Amerika Serikat misalnya, Supreme Court (Mahkamah Agung) mempunyai hak menguji secara material terhadap Undang-Undang. Pengadilan biasa (Court) dapat menolak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dari suatu perundang-undangan ke dalam suatu kasus, apabila ketentuan-ketenuan tersebut bertentangan dengan sumbernya (perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya).
3.      Undang-Undang yang Bersifat Khusus Mesampingkan Undang-Undang yang Bersifat Umum (Lex Specialis Derogat Lex Generalis)
Pada prinsipnya, Undang-Undang yang bersifat umum mengatur persoalan-persoalan pokok dan berlaku secara umum pula. Selain itu ada juga Undang-Undang yang menyangkut persoalan pokok dimaksud, tetapi pengaturannya secara khusus menyimpang dari ketentuan Undang-Undang yang umum tersebut (Undang-Undang yang bersifat khusus).
Kekhususan itu dikarenakan sifat hakikat dari masalah atau persoalan atau karena kepentingan yang hendak diatur mempunyai nilai intrinsic yang khusus, sehingga diperlukan pengaturan secara khusus pula. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat hukum pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku umum (berlaku bagi setiap penduduk). Sungguhpun demikian, bagi golongan tertentu, dalam hal ini misalnya untuk militer, disebabkan sifat hakikat tugasnya yang khusus yaitu bertempur dengan menggunakan kekerasan (senjata), perlu bagi militer tersebut dalam beberapa hal mengenai hukum pidana diatur secara khusus, menyimpang dari hukum pidana umum. Masalah yang khusus dimaksud, antara lain misalnya apa yang dikenal dengan tindak pidana desersi, yaitu perbuatan meninggalkan kesatuannya untuk selama-lamanya tanpa izin atau tindak pidana melarikan diri dari pertempuran, dan lain sebagainya. Oleh karenanya untuk kalangan militer ditetapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang bersifat khusus di samping KUHP yang bersifat umum.
Dalam KUHP telah diatur misalnya mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362 dan seterusnya), tetapi pencurian yang dilakukan oleh militer di dalam kesatuan militer diatur pula dalam KUHPM (Pasal 140). Dengan demikian terhadap militer yang melakukan pencurian dalam kesatuan militer berlaku 2 (dua) ketentuan hukum, yaitu Pasal 362 KUHP dan Pasal 140 KUHPM. Dalam keadaan tersebut yang digunakan atau berlaku adalah Pasal 140 KUHPM. Perbedaannya adalah ancaman hukuman dalam Pasal 140 KUHPM lebih berat daripada ancaman hukuman Pasal 362 KUHP. Jadi dalam hal ini Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum dalam persaingannya dengan Undang-Undang yang bersifat umum tersebut.
Kekhususan dimaksud dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang itu sendiri. Misalnya, Pasal 1 KUHPM merumuskan tentang berlakunya KUHP (Undang-Undang yang umum), kecuali jika ditetapkan secara khusus dalam KUHPM menyimpang dari KUHP. Demikian juga mengenai hubungan hukum yang khusus dengan hukum yang umum dalam bidang perdata yaitu, antara hukum dagang dengan hukum perdata, tercantum dalam rumusan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa KUH Perdata berlaku terhadap persolan-persoalan yang diatur oleh KUHD, kecuali yang ditentukan menyimpang.
4.      Undang-Undang tidak Berlaku Surut
Asas ini berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht), meliputi:
a.      Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied, territorial sphere), yang menunjukkan tempat berlakunya hukum atau perundang-undangan. Suatu ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk seluruh wilayah negara atau hanya untuk sebagian wilayah negara (Daerah Tingkat I tertentu atau Daerah Tingkat II tertentu saja);
b.      Lingkungan kuasa personel (zakengebied, material sphere), yaitu menyangkut masalah atau persoalan yang diatur. Misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik. Lebih sempit lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan, dan lain sebaginya;
c.       Lingkungan kuasa orang (personengebied, personal sphere), yaitu menyangkut orang yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk atau hanya untuk Pegawai Negeri atau hanya untuk kalangan anggota ABRI saja, dan lain sebagainya;
d.     Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied, temporal sphere), yang menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan.
Asas “Undang-Undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau tijdsgebied atautemporal sphere sebagaimana tersebut di atas.
Undang-Undang dibuat dengan maksud untuk keperluan masa depan sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Tidaklah layak apabila materi yang ditentukan dalam Undang-Undang diberlakukan untuk masa silam sebelum Undang-Undang itu dibuat dan diundangkan. Karena apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan berbagai akibat yang tidak baik.
Mengenai asas ini, dalam perundangan produk zaman Hindia Belanda yang masih berlaku sekarang berdasarkan ketentuan peralihan Hukum Dasar Negara yang pernah berlaku di Indonesia, terdapat dalam Pasal 2. A.B. (S.1847 : 23) yang menyatakan “De wet verbindt alleen voor het toekomende en heft geen toekomende en heft geentrugwerkendekract” (Undang-Undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut)
Dalam penggunaan Undang-Undang ada pengecualian berlakunya asas tersebut di atas, yaitu dikecualikan untuk hal-hal yang khusus berdasarkan pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang pula. Misal, Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah tidak pidana dilakukan, maka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa. Jadi kalau ketentuan Undang-Undang yang baru (menyangkut pidana) digunakan ketentuan yang paling menguntungkan tersangka atau terdakwa, maka bagi ketentuan Undang-Uundang yang baru dapat digunakan terhadap kasus yang sudah terjadi sebelumnya, apabila perkara itu belum diputus pada waktu berlakunya perubahan Undang-Undang tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-Undang yang baru diberlakukan surut terhadap kasus yang telah terjadi sebelumnya. Dalam ilmu hukum pidana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP itu disebut dengan istilah “gunstige bepaling” atau ketentuan yang menguntungkan.
5.      Undang-Undang yang Baru Mengesampingkan Undang-Undang yang Lama (Lex Posteriori Derogat Lex Priori)
Apabila ada suatu maslah yang diatur dalam suatu Undang-Undang yang lama diatur pula dalam Undang-Undang yang baru, maka ketentuan Undang-Undang yang baru yang berlaku. Dalam hal ini tentunya apabila ada perbedaan, baik mengenai  maksud, tujuan maupun maknanya.
Berlakunya asas ini ada juga pengecualian dalam penggunaan Undang-Undang. Misal, ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP memungkinkan pula masih tetap dapat diberlakukan ketentuan Undang-Undang yang lama apabila memang ketentuan itu yang paling menguntungkan tersangka atau terdakwa. Dengan demikian asas tersebut di atas tidak mutlak karena ada pengecualian, tetapi harus didasarkan pula pada ketentuan Undang-Undang. Memang tidak ada hukum yang mutlak, tetapi senantiasa ada pengecualian, sesuai dengan adagium “geenrecht zonder uitzondering”.      
F.      Materi Muatan Peraturan Perundang-undang Lainnya
Berdasarkan telaah dalam bidang perundang-undangan, dirasakan perlunya kejelasan mengenai materi peraturan tertentu yang harus dimuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.
Untuk mengenali berbagai jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan, memahami tata urutan atau tata susunannya, dan memahami proses pembentukannya tidak terlalu sulit, tetapi mengetahui dengan baik materi mana yang harus dimuat dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan terasa tidak mudah.
Ilmu Hukum Tata Negara sudah lama menyoroti pengertian Undang-Undang, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, menyoroti kedudukannya, kekuatan berlakunya dan lain-lainnya serta apa saja yang termasuk pengertian Undang-Undang dalam arti material. Juga ilmu hukum tata usaha negara telah jauh mempersoalkan kaidah-kaidah bagai teknik dan proses pembuatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Namun demikian keduanya belum menyinggung secara mendalam dan membiarkannya tanpa kejernihan mengenai masalah materi muatan yang semestinya dimuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.
Apabila menoleh kepada teori die stufenordnung der rechtsnormen yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky, kita mendapatkan rincian jenjang tersebut berturut-turut dari atas ke bawah sebagai berikut: Norma Dasar(Grundnorm), Peraturan Dasar (Grundgesetze), Undang-Undang (Formelle Gesetze), dan Peraturan Pelaksanaan(Verordnungen/autonome Satzungen). Meskipun kedudukannya lebih tinggi dari Formelle Gesetze, namun Grundnormdan Grundgesetze bukan norma hukum yang siap dilaksanakan dengan segala macam sanksi pidana bagi pelanggaran-pelanggarannya seperti halnya dengan Undang-Undang. Dengan kata lain, meskipun pelanggaran terhadap norma dasar dan peraturan dasar diancam dengan sanksi moral yang sebenarnya terasa lebih berat, ternyata pelanggaran terhadap Undang-Undang yang diancam dengan sanksi pidana atau denda terasa lebih konkrit. Oleh karena itu meskipun norma dasar dan peraturan dasar mempunyai kedudukan lebih tinggi, namun dalam membicarakan materi muatan peraturan perundang-undangan, materi muatan Undang-Undang terasa lebih mendesak dan lebih diperlukan secara praktis.
1.      Materi Muatan Undang-Undang
Istilah ‘materi muatan Undang-undang’ ini diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun ke IX Mei 1979, sebagai terjemahan dari het eigenaardig onderwerp der wet.[42].
Istilah het eigenaardig onderwerp der wet ini digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de grondwet, yang diterjemahkan sebagai Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet memberikan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana dengan jenis Grondwet lainnya,Grondwet ini pun berdiam diri untuk merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (the eigenaardig onder werp der wet).[43]
Apabila kita persamakan pendapat Thorbecke tersebut dengan konstitusi Indonesia, pendapat itu ada benarnya, karena dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan mengenai lembaga pembentuk Undang-Undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) yang dilaksanakan oleh DPR. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. DPR-RI perlu melibatkan dan memperhatikan usulan dari Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) dalam hal pembentukan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Meski demikian, materi muatan Undang-Undang tersebut tidak diatur. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan mengapa suatu masalah harus diatur dengan Undang-Undang, sedangkan masalah yang lainnya tidak perlu diatur dengan Undang-Undang, tetapi cukup diatur dengan peraturan perundang-undangan lain.
Para ahli hukum umumnya berpendapat materi muatan Undang-Undang dalam arti formele wet atau formell gesetz tidak dapat ditentukan lingkup materinya, mengingat Undang-Undang merupakan perwujudan kedaulatan raja atau kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan bersifat mutlak, ke luar tidak tergantung pada siapapun, dan ke dalam tertinggi di atas segalanya. Dengan demikian, semua materi dapat menjadi materi muatan Undang-Undang kecuali bila Undang-Undang menyatakan “tidak berkehendak mengatur atau menetapkannya”.[44]
Berbeda dengan pendapat tersebut, A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang di Indonesia merupakan hal yang penting, karena pembentukan Undang-Undang suatu negara bergantung pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya, kedaulatan dan pembagian kekuasaan dalam negara, serta sistem pemerintahan negara yang diselenggarakannya[45].
Apabila kita melihat pada tata susunan (hirarki) peraturan perundang-undangan negara, hal ini bukanlah sekedar masalah penetapan semata, melainkan lebih dikarenakan peraturan perundang-undangan kita selain dibentuk oleh lembaga-lembaga yang berbeda, juga masing-masing mempunyai fungsi dan sekaligus materi muatan yang berbeda disesuaikan dengan jenjangnya, sehingga tata susunan, fungsi, dan materi muatan peraturan perundang-undangan selalu membentuk hubungan fungsional peraturan yang satu dengan yang lain.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan negara secara formal itu mengandung kekuasaan mengatur dan memutus, sedangkan secara material mengandung unsur memerintah dan menyelenggarakan. Selain itu berdasarkan pendapat Van Vollenhoven, pemerintahan negara itu terdiri atas fungsi ketataprajaan, kepolisian/keamanan dan pengaturan, sehingga Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara dapat membentuk semua peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Akan tetapi, apabila menyimak ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, jelaslah bahwa kewenangan DPR dalam membentuk Undang-Undang harus dengan persetujuan Presiden, sedangkan bagi peraturan perundang-undangan lainnya tidak. Dengan demikian, pembentukan Undang-Undang selalu dikaitkan dengan suatu materi muatan yang sifatnya khas atau khusus, sehingga pembentukan Undang-Undang itu harus dilakukan “dengan persetujuan Presiden”. Persetujuan Presiden inilah yang membedakan antara Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Apabila sudah dirumuskan materi muatan yang harus dibentuk dengan Undang-Undang, dapat diketahui materi muatan lain yang merupakan kewenangan Presiden untuk menetapkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan lain. Oleh karenanya, merumuskan materi muatan suatu Undang-Undang di Indonesia sangat diperlukan untuk pedoman dalam hal pembentukan peraturan-peraturan lainnya.
Meski UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan materi muatan Undang-Undang, tetapi di dalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat digunakan untuk merumuskannya.
Sebagai rujukan historis, berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, digunakan 3 (tiga) pedoman untuk menentukan materi muatan Undang-Undang, yaitu berdasarkan [46]:
a.      Ketentuan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen;
b.      Wawasan Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat);
c.       Wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (konstitusional).
Ad 1. Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen.
Apabila kita melihat dalam Batang Tubuh UUD 1945, kita menemukan adanya 18 (delapan belas) masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang. Kedelapan belas masalah tersebut ditentukan dalam pasal-pasal: Pasal 2 ayat (1), Pasal 12, Pasal 16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (4), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (2).
Kedelapan belas masalah tersebut dapat kita kelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yang mempunyai kesamaan, yaitu :
a.      Kelompok hak asasi manusia: Pasal 12, Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1);
b.      Kelompok pembagian kekuasaan negara: Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25;
c.       Kelompok penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara: Pasal 16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5).
Dari pengelompokan ketentuan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan hal-hal mengenai hak asasi manusia, mengenai pembagian kekuasaan negara, dan mengenai penetapan organisasi serta alat kelengkapan negara (dalam hal ini Lembaga Negara), ditetapkan dengan Undang-Undang[47]
Ad 2. Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar atas Hukum (Rechtsstaat).
Dalam Penjelasan UUD 1945 ditentukan bahwa Negara Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). Wawasan negara berdasarkan hukum ini mengandung beberapa konsekuensi di bidang perundang-undangan karena hal itu menyangkut masalah pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak asasi manusia.
Wawasan negara berdasar atas hukum ini dimulai dengan terbentuknya Polizeistaat sampai pada perkembangan yang terakhir sebagai Rechtsstaat material/sosial, dimana perkembangan tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:
a.      Polizeistaat.
Polizeistaat ini terbentuk sebagai reaksi dari adanya kekuasaan negara yang absolut (monarki absolut), yang menguasai seluruh perikehidupan manusia. Dalam masa Polizeistaat ini cirinya adalah semua untuk rakyat, tetapi tidak oleh rakyat sendiri melainkan oleh negara.

b.      Rechtsstaat Sempit/Liberal
Perkembangan lebih lanjut dari Polizeistaat adalah Rechtsstaat dalam arti sempit/liberal, di mana dalam negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini negara mempunyai fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat sehingga negara hanyalah bertindak apabila ada gangguan terhadap ketertiban dan ketenangan masyarakat. Negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini biasanya disebut negara penjaga malam. Ciri-ciri negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini adalah mulai terlihat adanya:
1)      Perlindungan hak asasi manusia;
2)      Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.
c.       Rechtstaat Formal
Perkembangan selanjutnya dari negara berdasar atas hukum adalah Rechtstaat yang formal. Dalam negara berdasar atas hukum formal ini, negara sudah mulai melaksanakan kepentingan masyarakat dan tidak dapat lagi melaksanakan/menyelenggarakan segala kebutuhannya sendiri, tetapi untuk hal-hal tertentu telah dirasakan perlunya campur tangan pemerintah/negara sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.
Dalam masa ini hal-hal yang membatasi kemerdekaan dan milik warga negara serta hal-hal yang membebani warga negara harus diatur dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang itu dianggap suatu kebenaran yang mutlak atau sakral, karena suatu Undang-Undang harus dibentuk dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Dalam masa ini Undang-Undang merupakan peraturan yang menjembatani terselenggaranya pemerintahan negara.
Ciri-ciri rechtsstaat formal ditandai dengan adanya
1)      prinsip perlindungan hak asasi manusia;
2)      prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan;
3)      prinsip pemerintahan berdasar Undang-Undang;
4)      prinsip adanya peradilan administrasi.
Dengan adanya prinsip pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan peradilan administrasi diharapkan hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat dapat diselenggarakan oleh negara atau penguasa, sekaligus menghindari adanya tindakan-tindakan penguasa negara yang sewenang-wenang atau tidak berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
d.     Rechtsstaat Material/Sosial.
Perkembangan terakhir negara berdasar atas hukum adalah Rechtsstaat material/sosial yang sering disebut juga sebagai welfare state atau verzorgingsstaat atau negara berdasar atas hukum modern. Dalam wawasan negara hukum ini, kekuasaan negara sudah lebih dilonggarkan dengan adanya pengakuan terhadap kebijakan (freies emerssen) bagi tindakan pemerintahan negara, meskipun disertai dengan imbangan dalam bentuk peradilan administrasi. Beberapa pengaturan tidak lagi harus ditetapkan dengan Undang-Undang seluruhnya, melainkan dapat didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah. Ini berarti bahwa dari segi materi muatan Undang-Undang terjadi perpindahan titik berat “dari atas ke bawah”, terjadi pelimpahan beberapa materi Undang-Undang kepada jenis peraturan yang lebih rendah[48].
Dalam negara berdasar atas hukum yang modern, pengawasan terhadap pemerintahan negara selain dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang, dapat juga dilaksanakan dengan peraturan yang berada di bawah Undang-Undang.
Dalam negara berdasar atas hukum material ini negara berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, sehingga campur tangan Pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, kepentingan politik dan sosial, kepentingan budaya dan lingkungan hidupnya, serta masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan karena negara bertugas mengurusi rakyat, selain itu Undang-Undang diharapkan dapat memberikan pengarahan kepada Pemerintah dalam hal perlindungan hak asasi warga negara.
Ciri-ciri Rechtsstaat material/sosial ini ditandai dengan adanya :
1)      prinsip perlindungan hak asasi manusia;
2)      prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan;
3)      prinsip pemerintahan berdasarkan Undang-Undang;
4)      prinsip peradilan administrasi;
5)      prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia termasuk dalam negara berdasar atas hukum material/sosial. Hal ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia Keempat yang menyatakan :
“….untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan sosial,….. dan seterusnya”.
ad 3. Berdasarkan Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi (Konstitusionalisme).
Dalam wawasan pemerintahan berdasar sistem kontitusi ini, kewenangan Pemerintah beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya dibatasi oleh adanya konstitusi negara tersebut.
Oleh karena Negara Republik Indonesia menganut wawasan pemerintahan berdasar sistem konstitusi, maka kekuasaan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia terikat oleh Undang-Undang Dasar dan hukum dasar, sedangkan kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilan terikat oleh Undang-Undang dan hukum negara.
Presiden mempunyai kewenangan membentuk Peraturan Pemerintah bagi pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang, serta kewenangan membentuk peraturan lainnya dalam menjalankan pemerintahan, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a.      peraturan perundang-undangan yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Undang-Undang;
b.      peraturan perundang-undangan yang tidak memerlukan persetujuan perundang-undangan di sini merupakan peraturan yang sifatnya delegasian atau atribusian dari Undang-Undang. 
Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menemukan adanya 9 (sembilan) butir materi muatan Undang-Undang, yaitu[49]:
a.      yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR;
b.      yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
c.       yang mengatur hak asasi manusia;
d.     yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
e.      yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
f.        yang mengatur Organisasi/Lembaga  Negara;
g.      yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
h.      yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarga negaraan;
i.        yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Rincian butir-butir di atas merupakan “pena-pena penguji” (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi peraturan perundang-undangan termasuk materi muatan Undang-Undang atau tidak[50].
Berdasarkan “pena-pena menguji” dimaksud, maka apabila ingin mengatur suatu permasalahan, haruslah kita mengujinya dengan 9 (sembilan) butir materi muatan tersebut. Apabila masalah yang akan diatur itu sesuai dengan butir-butir materi muatan itu, harus diatur dalam bentuk Undang-Undang, sedangkan apabila masalah tersebut tidak sesuai dengan butir-butir materi muatan tersebut, kita dapat mengaturnya dengan peraturan perundang-undangan lain.
2.      Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Apabila sudah diketahui materi muatan Undang-Undang, maka materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan materi muatan “sisa” dari Undang-Undang tersebut. Yaitu materi muatan di bidang pemerintahan negara yang tidak termasuk materi muatan Undang-Undang. Dengan kata lain materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya adalah atribusian atau merupakan delegasi dari materi muatan Undang-Undang.
a.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang setingkat dengan Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa, dibentuk oleh presiden, dan mempunyai fungsi yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karena peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan Peraturan Pemerintah yang menggantikan kedudukan Undang-Undang, maka materi muatannya sama dengan materi muatan dari Undang-Undang.
b.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah peraturan yang dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan Undang-Undang atau peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam Undang-Undang dapat berjalan. Peraturan Pemerintah ini dibentuk oleh Presiden, dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan Undang-Undang, baik yang secara tegas maupun tidak secara tegas menyebutnya. Oleh karena itu, materi Peraturan Pemerintah adalah keseluruhan materi muatan Undang-Undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan Peraturan Pemerintah adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.
Peraturan Pemerintah pada hakekatnya merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan/menyelenggarakan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Pemerintah adalah semua materi Undang-Undang yang perlu ”dijalankan/diselenggarakan” lebih lanjut, atau dengan kata lain yang perlu “diatur” lebih lanjut.
Beberapa catatan mengenai Peraturan Pemerintah antara lain sebagai berikut :
1)      Peraturan Pemerintah tetap dapat dibentuk meski Undang-Undang yang bersangkutan tidak secara tegas mengamanatkannya;
2)      Muatan Peraturan Pemerintah tidak boleh lebih luas daripada atau menambah materi Undang-Undang;
3)      Batas-batas hukum (sanksi pidana) yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah harus diatur dengan Undang-Undang.
Selain itu, perlu juga diperhatikan beberapa hal mengenai:
1)      Amanat pembentukan, perlu ditegaskan, karena banyak diantara kita meragukannya apabila Undang-Undang yang bersangkutan tidak tegas-tegas menyebutnya;
2)      Kejelasan pengertian, sering timbul keraguan mengenai perincian pengertian lebih lanjut, penjabaran, dan penguraian. Selama pemahamannya tidak menimbulkan arti memperluas (yakni memasukkan ke dalam lingkungannya apa yang tidak semestinya), maka pengertian tersebut tetap diperbolehkan.
Maksud Undang-Undang dalam hal ini adalah Undang-Undang yang menjadi ”induk”nya atau satu Undang-Undang tersendiri (semacam blanketwet) yang khusus mengatur sanksi umum bagi pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah yang Undang-Undang induknya tidak menetapkan sanksi pidana. Berbeda dengan Logemann yang membuka kemungkinan penggunaan Staatsblad 1927-346 berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diamandemen, Konstitusi RIS, dan UUD Sementara 1950, sejak mulai berlakunya Konstitusi RIS, Staatsblad tersebut tidak dapat digunakan lagi, karena dalam Konstitusi RIS telah ditegaskan bahwa sanksi pidana hanya ditetapkan dengan Undang-Undang[51].
c.       Materi Muatan Keputusan Presiden
Materi muatan Keputusan Presiden ini harus dilihat dari 2 (dua) segi sesuai dengan fungsi Keputusan Presiden tersebut. Keputusan Presiden adalah peraturan yang dibentuk oleh Presiden sebagai penyelenggara fungsi pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang merupakan atribusi dari Undang-Undang Dasar tersebut. Sedangkan fungsi dari Keputusan Presiden lainnya adalah untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah, baik yang secara tegas diamanatkan pembentukannya maupun tidak. Dalam hal ini fungsi dimaksud merupakan delegasi dari Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan suatu Undang-Undang.
Berdasarkan kedua fungsi tersebut, materi muatan Keputusan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian serta materi muatan yang merupakan delegasian dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Ruang lingkup kewenangan yang bersifat atribusi dalam membentuk Keputusan Presiden yang mandiri merupakan kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
Mengenai materi muatan Keputusan Presiden, terlebih dahulu diperlukan penjelasan kata “keputusan” yang dipakai disini digunakan dalam arti “penetapan” (beschikking) dan “peraturan” (regeling). Apakah digunakan istilah “Keputusan Presiden, maka yang dimaksud dalam hal ini adalah “peraturan” yang dibentuk oleh Presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum maupun sesudah diamandemen) menegaskan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Mengingat luasnya kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden, timbul pertanyaan apakah materi muatan Keputusan Presiden dapat dirumuskan sebagai materi “sisa”, yang tidak termasuk dalam materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah? Apabila pemikiran ini diterima, berarti Keputusan Presiden dapat mempunyai daya laku ke luar mengenai hal-hal yang kewenangan pengaturannya bukan merupakan porsi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. (masih banyak diantara kita yang berpendapat bahwa Keputusan Presiden hanya mempunyai daya laku ke dalam atau sebagai maatregelen van uitvoerend gezag saja yang setaraf dengan instrucites voor ambtenaren).
Selain permasalahan di atas, masih ada permasalahan lain, yaitu apakah Keputusan Presiden mengatur hal-hal yang dilimpahkan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yakni mengatur lebih lanjut hal-hal yang secara tegas diminta oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah saja? Dalam hal ini Undang-Undang telah mempunyai Peraturan Pemerintah yang merupakan tempat khusus bagi pengaturannya lebih lanjut. Dengan demikian meskipun Undang-Undang dapat saja melimpahkan pengaturan lebih lanjut kepada Keputusan Presiden, namun Undang-Undang talah “melampirkan” apa yang semestinya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yang memang khusus diadakan untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang. Sebaliknya, Peraturan Pemerintah seyogyanya merupakan tempat bagi pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan Undang-Undang. Namun demikian, Peraturan Pemerintah dapat saja melimpahkan perincian ketentuannya lebih kepada Keputusan Presiden apabila dianggap perlu. Tetapi apabila Peraturan Pemerintah itu sudah cukup, Keputusan Presiden yang bersangkutan seyogyanya tidak diperlukan lagi. Dengan demikian setiap jenis peraturan perundang-undangan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik.
d.     Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden, karena peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden tersebut.
G.    Landasan/Dasar Keberlakukan Peraturan Perundang-undangan
Secara umum ada beberapa landasan/dasar agar peraturan perundang-undangan dapat berlaku dengan baik. Baik disini dalam arti bahwa peraturan perundang-undangan dapat berlaku secara efektif dan baik (sempurna) dalam teknik penyusunannya. Ada paling tidak 3 dasar keberlakuan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filosofis, dasar sosiologis, dasar yuridis. Hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan peraturan perundang-undangan, tetapi menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
1.      Dasar Filosofis
Dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, kesejahteraan. Hal ini yang disebut dengan cita hukum, yaitu yang berkaitan dengan baik dan buruk, adil atau tidak. Hukum diharapkan dapat mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh=sungguh nilai-nilai (cita hukum) yang terkandung dalam Pancasila.
2.      Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kondisi atau kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan harus memperhatikan struktur masyarakat kita yang lebih bersifat agraris.
3.      Dasar Yuridis
Dasar yuridis ini sangat penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a.      Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung makna bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Apabila dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang akan mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum, artinya peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak pernah ada, begitu juga dengan segala akibat hukumnya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa batal demi hukum disini adalah mati dengan sendirinya, tidak perlu ada suatu tindakan apapun. Sebagai contoh yang berwenang membuat peraturan daerah adalah kepala daerah dan DPRD. Apabila ada peraturan daerah yang dibuat bukan oleh kepala daerah dan DPRD, maka Peraturan Daerah tersebut adalah batal demi hukum, Namun dalam praktek yang namanya batal demi hukum ini tidak pernah terjadi, karena peraturan perundang-undangan tersebut nyatanya tidak mati (batal) dengan sendirinya tetapi ada suatu tindakan. Apabila ada suatu tindakan, maka berarti dibatalkan, bukan batal demi hukum;
b.      Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Ketidak sesuaian jenis ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut.Misalnya, Pasal 23 UUD 1945 menyatakan “segala pajak diatur dengan undang-undang”. Hal ini jelas bahwa masalah pajak hanya merupakan materi muatan undang-undang. Jadi jika ada masalah pajak diatur dengan keputusan menteri, maka keputusan menteri tersebut dapat dibatalkan;
c.       Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Jika tata cara atau prosedur tersebut tidak ditaati, maka peraturan perundang-undangan tersebut kemungkinan batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat. Sebagai contoh, Perda harus dibuat oleh kepala Daerah dan DPRD, maka Perda tersebut batal demi hukum. Setiap Perda tersebut belum mempunyai kekuatan mengikat.
d.     keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, undang-undang misalnya.
H.    Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
Dari uraian di atas, maka timbul pertanyaan apakah suatu peraturan perundang-undangan yang telah memenuhi ketiga dasar keberlakuan tersebut sudah sempurna? Jawaban terhadap pertanyaan ini mungkin bisa dipandang dari dua sisi, yaitu sisi efektifitas dan sisi teknis.
Dari sisi efektifitas, bisa saja peraturan perundang-undangan yang telah memenuhi ketiga dasar keberlakuan tersebutdapat berlaku secara efektif, namun dari segi teknis penyusunan yang kurang baik tidak separah seperti akibat apabila tidak memenuhi ketiga dasar keberlakuan peraturan perundang-undangan. Apabila tidak memenuhi ketiga dasar keberlakuan peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berakibat peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum, dapat dibatalkan, atau tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tidak demikian halnya apabila teknik penyusunannya tidak baik, paling-paling kita hanya dapat mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak baik.
Teknik penyusunan (perancangan) peraturan perundang-undangan yang tidak baik dapat terjadi karena ketidak jelasan perumusan sehingga tidak jelas arti, maksud, tujuannya, atau rumusannya dapat menimbulkan multi interprestasi, atau ada ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilah, atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga rumusannya sulit dipahami, dan sebagainya. Oleh karena itu, unsur teknik perancangan peraturan perundang-undangan merupakan unsur yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam rangka menyusun peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam kaitan inilah maka diperlukan pedoman teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang ditaati oleh semua pihak.
I.       Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-undangan
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan dikenal beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh para perancang atau penyusun peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1.      Dasar peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus ada landasan yuridis yang jelas. Tanpa ada landasan atau dasar yuridis, peraturan perundang-undangan akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Landasan atau dasar yuridis penyusunan peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan, tidak dimungkinkan hukum lain yang dijadikan dasar yuridis selain peraturan perundang-undangan. Misalnya saja kita menyusun peraturan perundang-undangan dengan mengambil bahan dari hukum adat, yurispudensi, dan sebagainya.
2.      Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis
Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan dasar yuridis penyusunan peraturan perundang-undangan, tetapi hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja. Peraturan peundang-undangan yang dimaksud di sini adalah peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan disusun. Dengan demikian, tidak mungkin peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dijadikan dasar yuridis dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Begitu juga, peraturan perundang-undangan yang tidak terkait langsung tidak dapat dijadikan dasar yuridis peraturan perundang-undangan.
3.      Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut atau diubah oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi.
Dengan prinsip ini, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan. Prinsip ini tidak mengurangi kewenangan hakim dalam suatu perkara untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), konstruksi hukum dan penghalusan hukum terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.      Peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan perundang-undangan lama
Apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang sederajat, maka yang diberlakukan adalah peraturan perundang-undangan yang terbaru. Dalam bahasa latin prinsip ini lebih dikenal dengan lex posteriori derogat lex priori. Dalam praktik prinsip ini ternyata tidak mudah diterapkan, karena banyak peraturan perundang-undangan yang sederajat saling bertentangan isinya, namun prinsip ini justru sering dilanggar terutama oleh pihak yang merasa berkepentingan. Contohnya antara Undang-undang tentang Kejaksaan dan Undang-undang tentang Kepolisian terjadi tarik menarik mengenai kewenangan penyidikan dalam tindak pidana korupsi (kasus 3 pejabat BI yang dituduh melakukan korupsi). Kejaksaan Agung mengklaim bahwa berdasarkan Undang-Undang tentang Kejaksaan, Kejaksaan Agunglah yang berwenang melakukan penyidikan. Sebetulnya tarik menarik kewenangan ini tidak akan terjadi apabila masing-masing pihak memahami prinsip  lex posteriori derogat lex priori. Berdasarkan pada prinsip ini semestinya Kepolisianlah yang berwenang melakukan penyelidikan, karena Undang-Undang tentang Kepolisian lebih baru daripada Undang-Undang tentang Kejaksaan.

           


[26] Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal.66.
[27] SF.Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal.26.
[28]  Ibid.
[29] CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984,  hal. 80
[30]  Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.9
[31]  Simak pasal 27, 28, 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28 I, 29, 30 ayat (1), 31 ayat (1), 34 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[32] Yang berbunyi : Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
[33]  SF.Marbun, Ibid, 29
[34]    Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal.99.
[35]  Maria Farida Idrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal.3.
[36] A.Hamid S.Attamimi, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijaksanaan, Makalah Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 20 September 1993.
[37] A.Hamid S.Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan  Kebijakan, Makalah disampaikan pada Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, Jakarta 17 Juni 1992, hal.3.
[38]    Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 
       sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No.9 Tahun 2004.
[39]  Disamping istilah Undang-Undang dalam arti materiil, dikenal juga istilah Undang-Undang dalam arti formal (wet in formele zin) yaitu keputusan yang dibuat bersama-sama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
[40]  NE.Algra en HCJG Jansenn, Rechtsingang, Een Orientatie in het Recht, HD Tjeenk Willink bv., Groningen, 1974, hal,59.
[41] SF.Marbun dan Moh.Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 1987, hal.94.
[42] A. Hamid S. Attamimi, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997.
[43] A. Hamid S. Attamimi, op cit.., hal 205.
[44] A. Hamid S. Attamimi, op.cit..,hal 1.
[45] Ibid.., hal.2.
[46] A. Hamid S. Attamimi, op. cit.., hal 210.
[47] A. Hamid S. Attamimi, op. cit, hal 212
[48] A. Hamid S. Attamimi, op.cit, hal 264
[49] A. Hamid S. Attamimi, op.cit., hal 219.
[50] Ibid..
[51]  Berdasarkan Pasal 141 ayat (2) alenia (2) Konstitusi RIS, dan perlu dipahami bahwa Staatsblaad tersebut bukanlah merupakan Undang-Undang sebagaimana dimaksud.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Deskripsi Singkat
Bahan Ajar ini membahas tentang jenis, hirarki, fungsi, dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan amanat yang dirumuskan dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Kedua), Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 4 angka 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang “Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.”
Kaitan ketiga Pasal diatas perlu dikemukakan dalam pembahasan di bawah ini, oleh karena ketiganya merupakan dasar dan landasan bagi pembentukan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut. 
B.     Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, peserta diharapkan mampu memahami jenis, hirarki, fungsi, dan materi muatan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 10 tahun 2004
C.    Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan:
1.      Dasar Hukum dan Proses Terbentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2.      Tata Susunan Norma Hukum
3.      Pengelompokan Norma
4.      Tata Susunan Norma Hukum Negara Republik Indonesia
5.      Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
6.      Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004
7.      Fungsi Peraturan Perundang-undangan
8.      Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

D.  Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Bab I      :  Pendahuluan
a.      Deskripsi Singkat
b.      Tujuan Instruksional Umum (TIU)
c.       Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
d.     Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Bab II     :   Jenis, Hierarki, Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan menurut UU No. 10 tahun 2004   
a.      Dasar Hukum Terbentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b.      Tata Susunan Norma Hukum
c.   Pengelompokan Norma
d.     Tata Susunan Norma Hukum Negara Republik Indonesia
e.      Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Ketetapan MPR  No. III/MPR/2000
f. Tanggapan Terhadap Ketetapan MPR No. III/MPR/2003
g.      Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004
h.      Jenis dan Tata Susunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
i. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
j.  Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
k.      Materi Muatan Undang-Undang
l. Materi Muatan Peraturan Pemerintah
m.   Materi Muatan Peraturan Lainnya




BAB II
JENIS, HIRARKI, FUNGSI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2004


A.    Dasar Hukum Terbentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Pasal 22A yang menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.
Dalam waktu yang bersamaan Majelis Permusyawaratan Rakyat juga telah menetapkan Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang didalam Pasal 6 ditetapkan bahwa, “tata cara pembuatan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang”.
Dengan adanya perubahan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat dan adanya aturan Tambahan Pasal 1 yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Keempat), maka dibentuklah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/2003, yang menetapkan dalam Pasal 4 angka 4 bahwa, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang”.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada tanggal 24 Mei 2004. Setelah dikirimkan kepada Presiden dan ditunggu selama lima bulan, akhirnya Undang-Undang tersebut dikeluarkan pula oleh Presiden pada bulan Oktober, walaupun tertulis pengesahan dan pengundangannya tanggal 22 Juni 2004.
B.     Tata Susunan Norma Hukum
Norma hukum atau sering disebut dengan kaidah hukum merupakan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku atau bertindak di dalam masyarakat.
Norma hukum dapat dibentuk secara tidak tertulis maupun secara tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya. Apabila melihat pada Stufentheorie dari Hans Kelsen, suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan (hirarki), dimana norma yang di bawah selalu dibentuk bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, norma yang diatasnya selalu dibentuk bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi, yang tidak dapat ditelusuri lagi dari mana sumbernya. Norma yang tertinggi ini sering disebut dengan Norma Dasar atau “Grundnorm”, atau “fundamentalnorm”.
Norma yang tertinggi ini berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi ia bersifat ‘presupposed’, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi dan diterima apa adanya. Norma dasar ini merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya.     Sistem norma yang berjenjang dan bertingkat-tingkat tersebut sering disebut dengan Nomodynamics (Sistem norma dinamik), yang menitikberatkan pada “pembentukan” norma tersebut.
Disamping sistem norma yang dinamis, Hans Kelsen mengemukakan juga adanya sistem norma yang statis (Nomostatics). Sistem norma yang statis adalah suatu sistem norma yang melihat pada ‘isi’ dari norma tersebut, di mana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma yang lebih khusus yang merupakan pelaksanaan dari norma umum tersebut.
C.    Pengelompokan Norma
Hans Nawiasky kemudian mengembangkan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans kelsen tersebut dalam kaitannya dengan norma hukum di dalam suatu negara (die Theorie vom Stufenaufbau der Rechctsordnung). Menurut Hans Nawaisky, tata susunan norma hukum dalam suatu negara dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok besar. Kelompok pertama adalah Norma Dasar Negara atau disebut juga Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). Kelompok kedua disebut Aturan Dasar Negara atau disebut juga Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Kelompok ketiga disebut Undang-undang (Formell Gesetz), sedangkan kelompok yang keempat disebut dengan peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung).
Menurut Hans Nawiasky, Norma Fundamental Negara adalah dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dari suatu negara, termasuk norma perubahannya, sedangkan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara merupakan aturan-aturan yang masih bersifat dasar yang merupakan garis-garis besar kebijakan negara, dan merupakan dasar bagi pembentukan perundang-undangan di dalam suatu negara. Selanjutnya yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah Undang-Undang, yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatif, sedangkan kelompok yang keempat adalah peraturan-peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan ataupun peraturan otonom yang merupakan peraturan bersifat delegasi atau atribusi dari suatu Undang-Undang.
D.    Tata Susunan Norma Hukum Negara Republik Indonesia
Tata susunan norma hukum di negara Republik Indonesia merupakan juga norma hukum yang berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis seperti dalam teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, dan secara berurutan tata susunan norma hukum tersebut terdiri atas : Pokok-pokok pikiran dalam Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pancasila, yang merupakan juga Norma Fundamental Negara   (Staatsfundamentalnorm), kemudian Aturan-aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) yang terdiri dari Batang tubuh Undang-Undang 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta Konvensi Ketatanegaraan yang merupakan hukum dasar tak tertulis yang berlaku di Indonesia, kemudian Undang-Undang (Formell Gesetz), dan peraturan-peraturan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan-peraturan pelaksanaan lain di bawahnya (Verordnung dan Autonome Satzung).     
E.     Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 menetapkan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
Pasal 2
Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam aturan hukum dibawahnya.
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1.    Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia;
3.    Undang-undang;
4.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
5.    Peraturan Pemerintah;
6.    Keputusan Presiden;
7.    Peraturan Daerah.
Walaupun dalam Pasal 2 telah dirumuskan secara limitatif tentang hirarki dan sekaligus jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, akan tetapi ketentuan tersebut telah pula menimbulkan berbagai permasalahan yang perlu mendapat tanggapan.
Dalam Pasal 4 Ketetapan MPR ini dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 4
(1)  Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
(2)  Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.
Dari kajian Ilmu di Bidang Perundang-undangan, ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 tersebut dapat dijukan bebrapa tanggapan.
F.      Tanggapan Terhadap Ketetapan MPR No. III/MPR/2003
1.      Undang-Undang Dasar 1945 dapat terdiri atas Pembukaan (Pancasila) yang merupakan Norma Dasar Negara, dan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Aturan Dasar Negara, sehingga tidak tepat apabila dimasukkan dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan.
2.      Ketetapan MPR adalah Aturan Dasar/Pokok Negara, dan merupakan peraturan yang mengikat/ditujukan kepada Presiden. Oleh karena Ketetapan MPR merupakan perumusan garis-garis besar daripada haluan negara, yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara, dan tidak mengatur umum, sehingga Ketetapan MPR bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan.
3.      Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah tidak tepat, bahkan tidak sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 UUD 1945, serta Pasal 3 ayat (5) TAP MPR No. III/MPR/2000. Adanya suatu “tata urutan” (sebaiknya disebut “tata susunan” atau “hirarki”) dari peraturan perundang-undangan, mempunyai suatu konsekuensi, bahwa peraturan yang berada di bawah harus bersumber dan berdasar (sebagai peraturan pelaksana) pada peraturan yang lebih tinggi. Selain hal itu, hakekat suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) aalah suatu peraturan yang menempati kedudukan setingkat dengan Undang-undang.
4.      Penyebutan Keputusan atau Peraturan Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi dalam Pasal 4 ayat (2) tetapi tidak dirumuskan dalam tata susunan peraturan perundang-undangan juga akan menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan suatu Keputusan atau Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan sebenarnya bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan.   
G.    Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004
Dalam Pasal 7 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan, bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

Pasal 7
(1)   Jenis and hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c.    Peraturan Pemerintah;
d.    Peratuarn Presiden;
e.    Peraturan Daerah.
(2)   Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a.    Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
b.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
c.    Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4)   Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5)   Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Walaupun rumusan Pasal 7 tersebut menetapkan hirarki dan jenis peraturan perundang-undangan secara limitatif, namun dalam pelaksanaan dapat menimbulkan berbagai penafsiran oleh karena adanya berbagai peraturan yang bersifat mengatur umum, abstrak, dan terus-menerus yang kadang-kadang dibentuk dalam rangka pelaksanaan pemerintahan.
Permasalahan tersebut dapat timbul apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dari Penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut dapat disimpulkan bahwa, Menteri dapat membentuk suatu perundang-undangan yang disebut Keputusan Menteri (sekarang disebut Peraturan Menteri), sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan adanya rumusan “sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi” dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka Menteri hanya dapat membentuk Keputusan Menteri (Peraturan Menteri) apabila Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden secara tegas memerintahkan (menetapkan). Dari kajian teori perundang-undangan, ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan Menteri dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang diembannya, sebagai penyelenggara sebagian bidang pemerintahan yang diberikan oleh Presiden, serta menerapkan kembali kebiasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem parlementer.



H.    Jenis dan Tata Susunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
Sesuai dengan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, tata susunan norma hukum di negara Republik Indonesia merupakan juga norma hukum yang berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, yang terdiri atas: Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pancasila, yang merupakan juga Norma Fundamental Negara(Staatsfundamentalnorm)kemudian Aturan-aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) yang terdiri dari Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta konvensi ketatanegaraan yang meruapakan hukum dasar tak terlis yang berlaku di Indonesia, kemudian Undang-undang (Formell Gesetz), dan peraturan-peratuaran pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan-peraturan pelaksanaan lain di bawahnya, yang merupakan Verodnung & Autonome Satzung.
Berdasarkan kajian di atas, jenis peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia seharusnya adalah sebagai berikut:



1.       Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat.
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu).
b. Peraturan Pemerintah.
c. Keputusan (Peraturan) Presiden.
d. Keputusan (Peraturan) Menteri.
e. Keputusan (Peraturan) Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
f. Keputusan (Peraturan) Direktur Jenderal Departemen.
g. Keputusan (Peraturan) Badan Negara.
2.       Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah.
a. Peraturan daerah Provinsi.
b. Keputusan (Peraturan) Gubernur.
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
d. Keputusan (Peraturan) Bupati/walikota.
I.       Fungsi Peraturan Perundang-undangan
1. Fungsi Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
a.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya.
b.      Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh Undang-Undang dasar 1945.
c.       Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam TAP MPR yang tegas-tegas menyebutnya.
d.     Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti:
1)      Organisasi, tugas dan susunan lembaga tertinggi dan tinggi negara.
2)      Tata hubungan antara negara dan warganegara dan antara warga negara/penduduk timbal balik.
2. Fungsi Peraturan Pemerintah
a.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya.
b.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang menagtur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
3. Fungsi Peraturan (Keputusan) Presiden.
a.      Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
b.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
c.       Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
4. Fungsi Peraturan (Keputusan) Menteri.
a.      Menyelenggarakan peraturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
b.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.
c.       Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya.
d.     Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
(kedua fungsi terakhir ini merupakan kebiasaan yang dipenagruhi oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950).
5. Fungsi Peraturan (Keputusan) Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.
a.      Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintah di dalamnya.
b.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.

6. Fungsi Peraturan (Keputusan) Direktur Jenderal Departemen.
a.      Menyelenggarakan perumusan kebijaksanaan teknis Keputusan Menteri.
b.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri.
7. Fungsi Peraturan (Keputusan) “Badan” Negara.
a.      Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-undang yang mengatribusikan, dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
b.      Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka menyelenggarakan fungsi dan tugasnya.
8. Fungsi Peraturan Daerah (menurut Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), menyelenggarakan pengaturan:
a.      Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
b.      Dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c.       Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
d.     Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
9. Fungsi Peraturan (Keputusan) Kepala Daerah (menurut Pasal 146 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), menyelenggarakan :
a.       Pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan.
b.       Pengaturan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
c.        Pengaturan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan.
d.      Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
J.       Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Materi muatan Undang-Undang adalah merupakan materi muatan yang ‘khas’ yang harus diletakkan dalam suatu Undang-Undang, sehingga selalu berada di dalam jenjangnya.
Secara garis besar peraturan perundang-undangan itu dibedakan menjadi dua. Pertama adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden dnegan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945), atau yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan oleh Presiden (menurut Pasal 20 Amandemen Pertama UUD 1945). Kedua adalah peraturan perundang-undangan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden adalah Undang-Undang, sehingga suatu Undang-Undang itu mempunyai materi-muatan “khas” yang berbeda dengan materi-muatan peraturan perundang-undangan lainnya.
Materi muatan Undang-Undang ini merupakan suatu istilah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH., yang merupakan terjemahan dari “het eigenaardig onderwerp der wet yang dikemukakan oleh J.R. Thorbecke dalam“Aantekening op de Grondwet”.
K.    Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan Undang-Undang dapat ditemukan denghan memakai tiga pedoman, yaitu:
a.      Dari ketentuan-ketentuan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (saat ini terdapat 43 masalah yang dinayatakan secara tegas untuk diatur dalam Undang-Undang);
b.      Berdasarkan Wawasan Negara berdasar atas hukum (Rechstaat);
c.       Berdasarkan Wawasan Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.
Dari ketiga cara tersebut dapat ditemukan sembilan butir materi muatan Undang-Undang seperti tersebut di bawah ini:
a.      hal-hal yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR;
b.      hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan dalam UUD;
c.       hal-hal yang mengatur hak asasi manusia;
d.     hal-hal yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara;
e.      hal-hal yang mengatur pembagian kekuasaan Negara;
f.        Hal-hal yang mengatur organisasi pokok Lembaga-lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
g.      hal-hal yang mengatur pembagian wilayah/daerah Negara;
h.      hal-hal yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;
i.        Hal-hal yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untu diatur dengan Undang-Undang.
Kesembilan butir materi muatan Undang-Undang ini merupakan suatu pedoman untuk menguji, apakah suatu masalah itu harus diatur dengan Undang-Undang atau cukup diatur dengan suatu Keputusan Presiden. (sekarang disebut Peraturan Presiden)
Dalam Pasal 8 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa materi muatan Undang-Undang adalah hal-hal yang: 
a.      Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang_Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1)      hak asasi manusia;
2)      hak dan kewajiban warga Negara;
3)      pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara;
4)      wilayah Negara dan pembagian daerah;
5)      kewarganegaraan dan kependudukan;
6)      keuangan Negara.
b.      Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
L.     Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu peraturan Pemerintah, yang merupakan peraturan delegasi dari Undang-Undang, atau peraturan yang melaksanakan suatu Undang-Undang, maka materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tetapi sebatas yang dilimpahkan, artinya sebatas yang perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 10 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan bahwa, materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 


M.  Materi Muatan Peraturan Lainnya
Setelah menemukan materi muatan Undang-Undang dan materi muatan Peraturan Pemerintah, maka materi muatan ‘sisanya’ adalah, materi muatan dari Keputusan Presiden (sekarang disebut Peraturan Presiden!), sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangn lainnya adalah merupakan materi muatan yang bersifat limpahan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, baik yang bersifat delegasi atau atribusi.
Dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Undang-Undang tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditetapkan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah;
2.      Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
3.      Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

No comments:

Post a Comment