Menjelang Pemilu 2014 tinggal satu tahun lagi, aroma kegelisahan menghantui para elite politik terkait melambungnya
biaya politik.
Partai membutuhkan dana sangat besar untuk
kampanye pemilu, memelihara konstituen, menggerakkan organisasi, merawat
infrastruktur, memperbarui atribut partai, dan ”mendapatkan” suara rakyat.
Aneka cara digunakan untuk menghimpun dana politik, baik legal atau ilegal.
Biaya politik melonjak akibat peralihan
dari sistem pemilihan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, yang
memerlukan infrastruktur, sarana, dan media komunikasi lebih kompleks dan
berbiaya tinggi. Akibatnya, pesta demokrasi jadi sangat mahal, di mana hanya
orang-orang kaya (oligarch) dapat bersaing dalam pertarungan politik. Ideologi
sebagai basis politik terpinggirkan, digantikan hasrat pragmatisme kekuasaan.
Dalam iklim komersialisme politik, peran
citra dan pencitraan sebagai jalan kekuasaan menjadi sangat sentral, bahkan
nyaris mutlak. ”Imagologisme” seakan jadi ideologi baru, di mana citra-citra
spektakuler-megalomanik menyihir masyarakat dengan gemerlap pesona dan
ilusi-ilusi, dan mencabut mereka dari akar ideologi. Politik lalu kehilangan
nilai ”keadaban” karena dalam permainan citra melekat manipulasi kesadaran
masyarakat.
Demokrasi oligarkis
Menguatnya peran orang-orang kaya dalam
medan politik telah mengubah medan politik dari medan ”pertarungan ideologi”
menjadi ”pertarungan modal” dan ”citra” demi kekuasaan. Medan politik menjelma
”pasar bebas politik”, di mana para politisi mengemas ”barang dagangan politik”
dalam sebuah ”etalase politik” yang megah dan gemerlap, untuk menseduksi para
”konsumer politik”.
Dalam ”pasar bebas politik”, institusi
politik khususnya partai politik menjelma lembaga bisnis besar, pabrik, atau
korporasi yang berurusan dengan investasi, perputaran dan akumulasi kapital.
Akibatnya, partai politik kehilangan sifat ”yang politik” (the political),
karena seperti lembaga ekonomi tak lagi diatur oleh etika dan aturan komunitas
politik, melainkan aturan hukum individu (individual law), yang lebih mengusung
ego pribadi (Schmitt, 1988).
Politik kehilangan sifat ”yang politik”
ketika ia kehilangan spirit komunalitas. Politik adalah perjuangan membangun
”sang kita” sebagai komunitas; apakah dengan nama ”partai”, ”oposisi’, ”buruh”,
atau ”bangsa”. Ideologi hanya berfungsi ketika masih ada spirit komunitas, yang
mengikat orang-orang dalam ikatan ”sang kita” dilandasi rasa kebersamaan,
sekeyakinan atau sealiran (Ranciere, 1995).
Maka, ketika politik bergeser menjadi
”korporasi”, spirit kolektivisme digantikan ”individualisme”; ikatan ideologi
diganti hasrat pragmatisme kekuasaan individu. Spirit individualisme
ditunjukkan oleh persaingan kekuasaan individu-individu di dalam partai.
Akibatnya, pesta mencari pemimpin jadi sangat mahal karena politik terjebak
dalam lingkaran ”kapitalisme politik”, di mana kekuatan modal materi bukan
ideology menjadi ekuivalensi kekuatan politik.
Dalam cengkeraman kapitalisme politik,
hanya orang kaya (para oligarch) yang mampu bersaing dalam medan pertarungan
politik. Demokrasi menjelma ”demokrasi oligarkis”. Akibatnya, demokrasi sebagai
bentuk kekuasaan ”di tangan rakyat” menjelma kekuasaan ”di tangan orang kaya”.
Demokrasi telah terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan ”oligarki
ekonomi” dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu menumpuk kekayaan untuk
kekuasaan (Ranciere, 2006).
Oligarkisme politik telah meminggirkan atau
mengerdilkan ”rakyat” sebagai elemen sentral sistem demokrasi. Rakyat sebagai
pemain utama dalam sistem demokrasi kini hanya pelengkap, bahkan obyek
kekuasaan. Status mereka dikerdilkan dari konstituen ideologis jadi ”konsumer”
gagasan, citra, pesona dan ilusi-ilusi yang ditawarkan para oligarch politik.
Dalam reduksi demokrasi menjadi oligarki,
kekuatan rakyat digerus menjadi sekadar ”nama” atau ”predikat”, tetapi tak
memiliki ”kekuatan nyata” dalam medan politik. Sistem demokrasi
representasional di mana wakil rakyat mewakili rakyat kini jargon hampa belaka.
Mereka kini telah berubah menjadi ”individu-individu” dengan hasrat pribadi,
dan terputus dari rakyat yang diwakilinya.
Populisme politik
Distorsi sistem demokrasi ke arah oligarki
telah mengubah tidak saja cara kerja, metode, prosedur, strategi, tetapi juga
identitas, watak, dan spirit politik. Cara kerja korporasi dan kapitalisme kini
menjadi ”cara kerja politik”. Institusi politik direduksi menjadi ”manajemen
oligarkis”, yaitu manajemen investasi, distribusi, dan akumulasi modal sebagai
cara dalam pertarungan kekuasaan yang liar.
Dalam distorsi demokrasi, ruang publik
politik tergerus, yang kini tak lagi dikuasai publik, tetapi oleh para pemilik
modal yang bertopeng ”publik”. Ruang publik menjelma ”ruang publik borjuis”, di
mana kepentingan publik direduksi jadi kepentingan para pemilik modal. Di
dalamnya, ”suara”, ”opini”, ”persepsi”, ”preferensi”, atau ”protes” publik,
semuanya dikonversikan sebagai komoditas demi keuntungan ekonomi-politik
(Habermas, 1991).
Citra dan pencitraan yang sejatinya
merupakan cara kerja kapitalisme kini jadi cara kerja politik demokratis.
Akibatnya, strategi pengemasan, pencitraan, hiburan, seduksi, sensualisme, eye
catching, dan simulasi kini jadi ”bahasa politik”. Citra partai kini direduksi
jadi citra individu tokoh partai, yang menunjukkan spirit komunalitas telah
digerus prinsip individualisme. Begitu sentralnya sosok tokoh individu sehingga
ia seakan menjadi penanda ekuivalen dari partai.
Pada tingkat komunikasi politik, karena ruang
publik politik telah menjelma ”ruang publik oligarkis”, strategi komunikasi
politik direduksi jadi strategi ”populisme” sebagai ekuivalen strategi budaya
populer dalam sistem industri. Populisme adalah cara komunikasi politik yang
mereduksi kompleksitas realitas politik menjadi semacam ”mistifikasi” dan
”simplifikasi”, yang atas nama rakyat menggunakan sentimen kesukuan, agama,
adat, atau tradisi untuk menciptakan ”musuh palsu bersama” (Zizek, 2008).
Distorsi sistem demokrasi telah mendistorsi
pula makna ”kebebasan”. Kebebasan dalam sistem demokrasi yang dibingkai dalam
spirit komunitas kini jadi ”kebebasan individu” seperti dalam sistem
kapitalisme, yang diekspresikan melalui slogan ”Konsumer adalah Raja”. Padahal,
slogan ini adalah penanda hampa makna karena kebebasan memilih adalah dalam
kondisi di mana pilihan sudah ditentukan oleh elite produsen kapitalis.
Makna ”kebebasan memilih” dalam politik
juga direduksi menjadi kebebasan ala kapitalisme, yaitu ”kebebasan” sebagai
penanda hampa makna. Rakyat memang bebas memilih wakil rakyat atau presiden.
Tetapi, itu adalah ”kebebasan memilih dalam ketiadaan pilihan”. Rakyat bebas
memilih, tetapi apa yang dipilih semuanya sama, yaitu para elite yang sama-sama
tercabut dari perjuangan ideologi, dan merayakan kepentingan ego pribadi.
Rakyat memilih dalam ketiadaan pilihan!
Masa depan demokrasi sangat bergantung pada
bagaimana kita menyikapi realitas demokrasi: apakah membiarkan kondisi
”ketaksadaran diri” terbawa ke dalam praktik yang menegasi prinsip demokrasi
sendiri. Atau, sebaliknya, mendorong upaya refleksi, pemikiran, diskusi, wacana
kritis, serta gerakan budaya tanding untuk menjaga agar demokrasi tak berbalik
merusak peradaban sendiri. Bila tidak, kita akan terus ”menjalankan demokrasi
dalam ketaksadaran demokrasi” the unconscious democracy!